Tuesday 13 October 2015

Dinasti Safawi, Dari Tarekat Ke Politik Serta Kontribusinya terhadap Perkembangan Iran Modern

Dinasti Safawi

Dari Tarekat Ke Politik
Serta Kontribusinya terhadap Perkembangan Iran Modern



A.    Pendahuluan
Pada waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan Safawi di Persia masih baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang dengan cepat. Nama Safawi ini terus di pertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi suatu gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki Usmani [1]
Gerakan politik-keagamaan kaum Tarekat Safawi terjadi ketika dunia Islam tengah memasuki periode pertengahan (1250-1800 M). Gerakan Tarekat Safawi muncul pada abad ke-13 M di Ardabil, sebuah kota di Azerbeyjan, wilayah Iran bagian Barat.2 Ardabil pada saat itu merupakan wilayah kekuasaan Kara koyunlu yang berasal dari suku Turki yang menganut Syiah. Pendiri Tarekat Safawi adalah Saifuddin Ishaq(1252-1334).
Gerakan Tarekat Safawi pada masa awal masih bercorak keagamaan murni. Tetapi, karena kondisi sosial yang mendukungnya dan doktrin Syi’ah yang memotivasi kaum Safawi, kemudian mereka merubah corak pemikiran keagamaan kepada pemikiran politik-keagamaan dalam gerakan Tarekat Safawi[2]
Pada masa awalnya, Tarekat Safawi berbentuk pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal, yang bertujuan menanamkan ajaran-ajaran Sufistik dan kesalehan sebagai bagian yang terpenting dalam tasawuf, sehingga para pengikut tarekat ini taat dan teguh menjalani ajaran agamanya
Gerakan Tarekat Safawi pada masa awal masih bercorak keagamaan murni. Tetapi, karena kondisi sosial yang mendukungn dan memotivasi kaum Safawi, kemudian mereka merubah corak pemikiran keagamaan kepada pemikiran politik-keagamaan dalam gerakan Tarekat Safawi
Sebagai organisasai keagamaan (dakwah) tarekat dapat dijadikan institusi politik-dakwah dengan tujuan guna menyebarkan Islam sekaligus meraih cita-cita politik dalam mengembangkan ajaran agama Islam di tengah kehidupan sosial, baik kehidupan sosial-keagamaan maupun sosial-politik (yakni sistem religio-politik Islam) yang dilakukan kaum Tarekat Safawi. Organisasi tarekat sekaligus sebagai institusi politik-dakwah kaum Tarekat Safawi selain berfungsi untuk memudahkan konsolidasi dan penyebaran doktrin tarekat itu bagi pengikutnya di tengah masyarakat, juga sekaligus untuk meningkatkan kaum Tarekat Safawi di hadapan penguasa dan di tengah masayarakat.
Gerakan tarekat Safawi juga tidak jarang menghadapi peperangan-perangan politik dengan beberapa kerajaan, hingga pada saat Ismail ibn Haidar dapat mengalahkan penguasa dari Syrwanid kemudian dilanjutkan kemenangan atas Alaq Koyunlu memberikan jalan kepada tarekat Safawi untuk mendirikan kerajaan.
 
B.     Tarekat Safawiyah
            Cikal bakal kerajaan Safawi ini berasal dari tradisi tarekat. bagaimana tradisi tarekat mampu melahirkan sebuah dinasti besar seperti Safawi, istilah Safawi dinisbahkan kepada tarekat  Safawiyah yang didirikan oleh Syekh Saifuddin  Ishaq(1252-1335M) di Ardabil barat laut Iran, dalam periode Dinasti Ilkhan antara abad ke 7-8 H. Syeikh Saifuddin selain sebagai seorang guru tarekat juga sebagai pedagang dan politisi. Namun dalam berpolitik Syekh Saifudddin kurang berambisi terhadap kekuasaan politik, karena bidang politik bukanlah perhatian utamanya, ia lebih  tertarik menjadi pelindung bagi kaum miskin dan kalangan yang lemah. Selain itu ia memiliki misi mengislamkan orang mongol. Ia sendiri adalah seorang Suni. Popularitas Syekh Saifuddin tidak terbatas hanya diwilayah Ardabil. jaringan para murid dan wakilnya dari  wilayah Oxus sampai Teluk Persia dan dari wilayah kaukasus hingga Mesir.[3]
Setelah wafatnya Syekh Saifuddin Ishaq kepemimpinan tarekat Safawiyah digantikan oleh Syekh Khwaja Ali yang merupakan anak cucu Syekh Saifuddin Ishaq. Kemudian tarekat Safawiyah beralih dibawah pimpinan Syeikh Junaid pada tahun 1447 M, sejak kepemimpinan tarekat Safawiyah di bawah pimpinan syekh Junaid aliran tarekat tersebut mengalami perubahan paham dan cara bertarekat, tarekat Safawiyah yang di kembangkan dari lembaga Tasawuf yang mempunyai kecenderungan kepada hal-hal yang bersifat ukhrowi menjadi aliran agama yang mempunyai kecenderungan kepada politik dan kekuasaan
Para pengikut tarekat di kerahkan dengan cara militer untuk melakukan gerakan menentang negara tetangga yang beragama Kristen, ataupun untuk memanfaatkan situasi  pertentangan antara penguasa Kara Koyunlu dan Alaq Koyunlu.
Gerakan politik tarekat Safawiyah pada masa kepemimpinan SyekhJunaid menggunakan alasan jihad untuk melawan orang Georgia dan Kaukasus dihadapkan pada kenyataan bahwa gerakan tersebut telah memasuki wilayah Kaukasus Utara. Dengan kata lain penguasa Syirwanid menganggap gerakan Syeikh Junaid sebagai gerakan pencaplokan terhadap wilayahnya. Maka terjadilah pertempuran antara Syekh Junaid dan penguasa Syirwanid, yang mengakibatkan terbunuhnya Syekh Junaid. [4]
Sepeninggal Syekh Junaid, kedudukannya digantikan oleh anaknya, Haidar, yang baru lahir beberapa minggu menjelang Syekh Junaid wafat. Haidar di besarkan dilingkungan istana pamannya, Uzun Hasan seorang raja Alaq Koyunlu yang berhasil menguasai Irak dan Azerbaijan. Sekitar umur sepuluh tahun haidar telah menetapdi Ardabil, tempat kelahiran dan pusat perkembangan tarekat safawiyah. Di tempat itulah Haidar perlahan mengorganisasi kekuatan dengan memanfaatkan pola kharismatik kepemimpinan ayahnya, yang telah dianggap sebagai Tuhan oleh para pengikutnya yang fanatik dan ekstrem. Atas dasar ini lah, Haidar dianggap oleh pengikutnya sebagai anak Tuhan. untuk meneruskan kepemimpinan dan ambisi ayahnya, ia lebihj jauh mengorganisasi kekuatan pengikutnya yang fanatik menjadi tentara agama yang  di kenal dengan sebutan Qizilbasy.
Karena beberapa pertimbangan,Haidar yang merupakan keponakan Uzun Hasan diminta agar kembali datang ke istanahnya di Diyarbakr,Turki untuk menikahkannya dengan putrinya Baki Aqa. Pada tahun 1478 M, Uzun Hasan meninggal dan kekuasaannya digantikan khalil, namun beberapa bulan kemudian Khalil meninggal karena terbunuh oleh adiknya Ya’qub, yang  memiliki ambisi politik serta menganggap Haidar sebagai ancaman.
Untuk mewujudkan ambisi politiknya Haidar melakukan serang ke wilayah kaukasus Utara sebanyak dua kali, 1483 M dan 1487 M. sepertihalnya ayahnya, Junaid, Haidar juga merencanakan untuk merebutkekuasaan kerajaan kecil Syirwanid yang tetap berada diluar control Alaq Koyunlu. Dengan kemampuan berdiplomasi Haidar mampu meyakinkan pemimpin Syirwanid, Sriwan Syah khalilullah.  Namun diplomasi Haidar sebenernya untuk memerlukan persetujuan melintasi wilayah Syirwanid guna mengadakan serangan terhdap wilayah Kaukasus Utara. Pergantian  penguasa Syirwanid yang digantikan oleh Farrukh Yasar, berbeda dengan  penguasa sebelumnya, Farrukh Yasar tidak memberikan izin kepada Haidar untuk melewati Syirwanid.
Disamping itu Haidar tetap merupakan ancaman bagi kerajaan Alaq Koyunlu. Atas dasar itulah, ketika kali ketiga Haidar melakukan serangan ke Kaukasu Utara pada tahun 1488 M, ia dihadang oleh Ya’qub dan farrukh Yasar di Syirwanid , dalam pertempuran tersebut ia menemui ajalnya. Kemudian anak-anak dari Haidar diasingkan ke Fars dan baru kembali ke Ardabil ketika Alaq Koyunlu mengalami kemelut politik internal akibat dari perebutan kekuasaan.
Pada tahun 1495 M, anak tertua Haidar, Sultan Ali, meninggal dunia ditangan penguasa Alaq Qoyunlu, Rustam. Maka dari itu kepemimpinan tarekat Safawiyah beralih ketangan putra termuda Haidar, Ismail, yang baru lahir setahun sebelum ayahnya meninggal. Untuk  melarikan diri dari kejaran Rustam, Ismail tinggal diLahijan selama lima tahun sejak kematian kakanya. Di Lahijan, Ismamil hidup dibawah pengawasan Karkiya Mirza Ali, seorang pengusa Jilan. Untuk mengajari Ismail pengetahuan agama, Karkiya Mirza Ali mendatangkan seorang ulama syiah. Ulama tersebutlah yang menjabat sebagai Sadr,setelah Ismail berhasil mendirikan Kerajaan Safawi.
Kematian penguasa Alaq Koyunlu, Sultan Rustam pada tahun 1497 M. menjadi angin segar bagi Ismail. Mewarisi kharismatik ayah dan kakeknya,ia bebas mengorganisasi dan mengerahkan para pengikutnya yang fanatik, dengankekuatan 7000 tentara Qizilbasy pada maret 1500,Ismail bergerak menyerang Arzinjan di Anatolia Timur, delapan bulankemudian yakni pada desember 1500, pasukan Ismail melakukan serangan terhdap Syirwanid, maka terjadilah peperangan anatara pasukan Ismail  dengan pasukan farrukh Yasar. Namun kali ini tidak seperti peperangan yang  terjadi 12 tahun lalu yang mengakibatkan terbunuhnya Haidar karena Syirwanid harus berperang sendirian tanpa bantuan dari Alaq koyunlu yang mengakibatkan kekalahan pasukan Syirwanid yang dipimpin oleh Farrukh Yasar, Kemenangan dari Syirwanid bukan hanya sebagai keberhasilan melakukan balas dendam, tapi kemenangan ini juga melancarkan jalan bagi berdirinya kerajaan Safawi[5]

C.    Kerajaan Dinasti Safawi
Sebelum menguraikan sejarah kerajaan safawi maka penulis akan paparkan raja yangberkuasa dari awal berdirinya kerajaan safawi hingga berakhirnya kerajaan tersebut, diantaranya sebagai berikut,
1.      Isma’il I (1501-1524 M)
2.      Tahmasp I (1524-1576 M)
3.      Isma’il II (1576-1577 M)
4.      Muhammad Khudabanda (1577-1587 M)
5.      Abbas I (1587-1628 M)
6.      Safi Mirza (1628-1642 M)
7.      Abbas II (1642-1667 M)
8.      Sulaiman (1667-1694 M)
9.      Husein I (1694-1722 M)
10.  Tahmasp II (1722-1732 M)
11.  Abbas III (1732-1736 M)

Pada masa kepemimpinan Ismail ibn Haidar (1501-1524), gerakan politik-keagamaan kaum Tarekat Safawi lebih ditujukan pada gerakan sosial-politik dengan tujuan merebut kekuasaan politik dan mendirikan negara berbasis doktrin Syi’ah Dua belas sebagai mazhab negara. Ismail adalah sosok seorang pemuda yang sangat ambisius untuk menguasai politik dan berkuasa berdasarkan doktrin Syi’ah Dua belas. Ia menghimpun kekuatan politik yang didasarkan pada doktrin Syi’ah dan berkonsolidasi dengan pasukan Qizilbas[6]
            Beberapa langkah strategis yang dilakukan oleh Ismail ibn Haidar dalam mengkonsolidasikan pasukan Qizilbas untuk meningkatkan gerakan politik-keagamaan , antara lain: Pertama, Ismail ibn Haidar menyatakan dirinya keturunan Imam Musa al-Kazim dan Ismail pun menyatakan dirinya sebagai wakil imam gaib, al-Mahdi[7]. Kedua, Ismail ibn Haidar menyatakan dirinya memiliki sifat ketuhanan serta meyakinkan dirinya kepada pengikutnya bahwa dirinya titisan Tuhan yang berwujud pada dirinya. faham tersebut dianut oleh Ismail bertujuan untuk meyakinkan kesetiaan pasukan Qizilbasy atas kepemimpinannya dalam mewujudkan kekuasan politik. Ketiga, Ismail ibn Haidar mengharuskan kepada setiap pasukan Qizilbasy untuk menyatakan sumpah janji setia (bai’at) mereka kepada Ismail ibn Haidar dengan mengucapkan, tiada tuhan kecuali Allah dan Ismail adalah wali Allah.[8]
            Pada masa kepemimpinan Ismail ibn Haidar, gerakan politik-keagamaan bagi kaum Tarekat Safawi yang semula berpusat di Ardabil dipindahkan ke Gilan. Di wilayah Gilan ini, Ismail terus melakukan konsolidasi dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syiria, dan Anatolia, untuk mempersiapkan dan menghimpun kekuatan pasukan Qizilbasy yang berasal dari kumpulan suku Turki, untuk menyerbu dan mengalahkan Koyunlu[9]
            Kemudian pasukan Qizilbasy terus memasuki dan menak-lukkan Tabriz, ibu kota Koyunlu, dan akhirnya Ismail ibn Haidar bersama pasukan Qizilbas, pada hari Jum’at tahun 1501 M memproklamasikan dirinya sebagai penguasa politik pertama dengan gelar raja (syah) sekaligus pemimpin Tarekat Safawi dengan gelar syaikh pertama yang berhasil mendirikan Dinasti Safawi, Ismail ibn Haidar dalam proklamasi berdirinya Dinasti Safawi tahun 1501 M, ia juga memutuskan ajaran Syi’ah Dua belas (Syi’ah Isna ’Asyariyah) diberlakukan sebagai agama resmi negara[10]
Dalam kasus Syah Ismail yang berpadu dalam dirinya antara penguasa politik sebagai Syah atau raja dan guru tarekat sebagai Syekh atau mursyid.untuk memperkukuh kekuasaan barunya, Ismail memerlukan dukungan keagamaan dan politik. Posisi kekuasaannya diletakkan atas tiga dasar, pertama, konsep kekuasaan kerajaanpersia kuno yangtercermin dalam konsep bahwa raja adalahbayanganTuhan dibumi, kedua, posisi sebagaisyekh tarekat Safawiyah yang memungkinkannya untuk menuntut kepatuhan penuh dari pengikutnya dan ketiga, pengakuannya bahwa dia adalah keturunan dari Imam ketujuh dan memerankan sebagai wakil Imam Mahdi.
Pada kepemimpinan Ismail, ia menginstruksikan kepada sadr atau mentri agama untuk menyebarluaskan ajaran Syiah, dan itu merupakan tugas sadr pada periode awal. Tentu tugas yang berat untuk menjadikan penduduk Persia beralih ideologi dari Suni ke Syiah. Syiahisasi ini telah menimbulkan pertentangan ideologi yang sangat serius. untuk mewujudkan programnya,ismail tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan. Ismail juga secara kejam membunnuh ulama maupun sastrawan suni yang menolak ideologi syiah.[11]
Syah Ismail wafat pada tahun 1524 M, Tahmasp, anak tertua Ismail, yang masih berusia sepuluh tahun menggantikan ayahnya sebagai raja. Sebelum ia dewasa dan mampu mengendalikan kekuasaannya, telah terjadi konflik internal antar anggota Qizilbasy yang memperebutkan kepentingan politik. Situasi konflik tersebut berllangsung sampaitahun 1533 M, kemudian pemerintahan Syah Tahmasp juga harus berhadapan kekuatan luar, yakni dari Uzbek dan Usmani pada tahun 1553 M.
Tidak seperti ayahnya, Syah Tahmasp tidak mengklaim dirinya sebagai wakil Imam Mahdi dan keturunan Imam ketujuh. Sebaliknya ia meneken pengikutnya yang ekstrem yang memandang dirinya sebagai titisan Tuhan. Anti ekstremisme terhadap tradisi tarekat ini terus berlangsung hingga menjelang akhir kekuasaannya pada tahun 1575 M.
Setelah kematian Syah Tahmasp, anaknya Ismail II sebagai penerus penguasa setelahnya,,namun dalam kebijakan keagamaan ia tidak meneruskan proses pengembangan ideologi Syiah yang telah diprakarsai oleh syah Ismail dan  Syah Tahmasp. Ia menaruh sikap yang ramah terhadap suni. Sikap ini diambil sebagai upayahnya untuk mengurangi pengaruh dan peran politik ulama syiah guna menumbuhkan perimbangan kekuatan antara kelompok bangsawan Iran dan kelompok Qizilbasy yang senantiasa dilanda konflik kepentingan politik. Namun sikap Syah Ismail II tersebut menjadi boomerang baginya, sikap yang ramah terhadap suni telah melahirkan berbagai pertentangan, terutama dari kalangan Qizilbasy yang merasa menjadi pendukung utama lahirnya kerajaan Safawi. Dalam tangan Qizilbasy inilah kekuasaan singkat Ismail II berakhir dalamwaktu yang cukup singkat, yakni delapan belas bulan. Ia digantikan oleh saudaranya, Muhammad Khudabanda pada tahun 1578 M, kelemahan dan ketidakcakapannya dalam memimpin menjadi masalah yang sangat serius dalam pemerintahannya, akhirnya ia digantikan oleh anaknya Syah Abbas I,melalui proses kudeta[12].
Ketika Syah Abbas I naik tahta, kondisi kerajaan Safawi dalam keadaan lemah akibat peperangan dengan kerajaan Turki Usmani yang lebih kuat dan terjadi berkali-kali pada zaman pemerintahan Tahmasp I, Ismail II, hingga zaman Muhammad Khudabanda. Selain itu, di dalam negeri sering terjadi pertentangan antara kelompok-kelompok memperebutkan kekuasaan.[13] Maka dalam rangka memulihkan kekuatan kerajaan Safawi, Syah Abbas I melakukan dua langkah, pertama, membangun angkatan bersenjata kerajaan yang kuat, besar dan modern. Tentara Gizylbasy yang pernah menjadi tulang punggung kerajaan, menurut Syah tidak bisa diandalkan lagi untuk menopang citra politik Syah yang besar. Untuk itu perlu dibangun suatu angkatan bersenjata yang baru. Inti satuan militer ini direkrut dari bekas tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia. Mereka diberi nama Ghulam. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang militan dan dipersenjatai secara modern. Sebagai pimpinannya, Syah mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.
Dalam membangun kekuatan militer Ghulam, Syah dibantu oleh dua orang asing berkebangsaan Inggris, yaitu Sir Anthony Sherley dan saudaranya Sir Rebort Sherley. Mereka mengajari tentara Safawi membuat meriam sebagai perlengkapan tentara modern Bantuan pihak inggeris itu, oleh sebagian sejarawan di pandang sebagai upaya Inggris untuk melemahkan pengaruh Turki Usmani di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat itu[14]. Dengan bantuan kedua orang  Inggris tersebut, Safawi membangun kekuatan militernya, sehingga terbentuk beberapa resimen di antaranya, satu resimen pengawal sejumlah 3000 orang Ghulam, sebuah resimen tempur yang terdiri dari orang-orang Persia dengan kekuatan 12.000 prajurit. Saat itu kerajaan Safawi memiliki tentara sekitar 37000 orang prajurit[15].
Langkah kedua Syah Abbas I adalah mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani. Dalam perjanjian tersebut, Safawi harus menyerahkan kepada Turki Usmani wilayah Azerbajian, dan Georgia serta sebagian wilayah Luristan. Termasuk dalam butir perjanjian, bahwa Syah harus menjamin penghentian penghinaan terhadap tiga khalifah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar dan Usman pada setiap khutbah diseluruh wilayah kekuasaannya. Sebagai jaminan atas janji tersebut, Syah menyerahkan saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai Sandra di Istambul.
Sejak saat itu, Syah Abbas I dapat berkonsentrasi memulihkan stabilitas keamanan dalam negeri dan membentengi wilayah kekuatannya dari serangan bangsa Uzbek yang sering kali menyerang Khurasan. Setelah itu, Syah Abbas I mulai mengalihkan perhatiannya keluar dengan berusaha mengembalikan wilayah-wilayah kekuasaanya yang hilang. Pada tahun 1598 M ia merebut Heart, Merv dan Balkh. Setelah kekuatannya benar-benar terbina dan sholid, ia pun merusaha merebut kembali wilayah kekuasannya dari tangan Turki Usmani. Pada akhir kekuasaan Sultan Muhammad III, Ketika Turki Usmani terlibat perang dengan Australia, Syah Abbas melancarkan serangannya terhadap Turki Usmani sehingga berhasil merebut kembali Tabriz, Syirwan dan Baghdad. Selanjutnya pasukan Abbas I merebut Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis dan kepulauan Hurmuz yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan maritim.[16]
Dengan keberhasilan membangun angkatan bersenjata yang tangguh, lalu memulikan stabilitas dalam negeri mengembalikan wilayah-wilayah kerajaan yang pernah direbut kerajaan lain selama pemerintahan raja-raja sebelumnya, maka Syah Abbas I berhasil membawa Safawi mencapai kemajuan di bidang politik.
Stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa Syah Abbas I telah mendorong kemajuan di bidang ekonomi, terutama pada sector industri dan perdagangan. Untuk menunjang kekuatan militer yang memerlukan banyak dana, Syah Abbas I melakukan usaha besar di bidang  perdagangan. Ia memacu produksi sutera dan memasarkan produk tersebut melalui para pedagang yang berada dalam pengawasan Negara. Melalui para pedagang Armenia yang membawa produk tersebut ke Isfahan dan menjadikan mereka sebagai penengah antara sang Syah dan pelanggang asing, maka pihak kerajaan memperoleh kedudukan yang kuat di dalam perdagangan Iran. Abbas I juga mendirikan Sejumlah pabrik kerajaan untuk menghasilkan barang-barang mewah untuk keperluan kalangan kerajaan dan untuk keperluan perdagangan internasional. Pembuatan karpet yang semula merupakan kegiatan industri rumah tangga, di pusatkan pabrik-pabrik besar di Isfahan. Pembuatan sutera juga di ubah menjadi industri kerajaan yang menghasilkan beludru, kain damas, satin dan kain taf untuk di perdagangkan  ke Eropa. Kerajaan juga mengembangkan produksi keramik Cina yang khas di dasarkan pada seni porselin Cina. Untuk menunjang kelancaran kegiatan perdagangan, di seluruh penjuru Iran di bangun jalan-jalan  dan cavansaries (perkampungan dagang).[17]
Selanjutnya, Kemajuan di bidang fisik tata kota dan seni menyertai  kemajuan Dinasti Safawi, ketika Pembangunan besar-besaran dilakukan Syah Abbas I terhadap kota Isfahan, Sehingga ibu kota Safawi tersebut menjadi kota yang sangat indah. Di kota Isfahan didirikan bangunan-bangunan besar lagi indah seperti mesjid-mesjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa diatas sungai Zende Rudd an istana megah yang di sebut Chihiro l Sutun atau Istana empat puluh tiang. Kota Isfahan juga di perindah dngan aman-taman wisata yang ditata secara apik yang dikenal dengan taman bunga empat penjuru.
Kota Isfahan menunjukkan puncak pencapaian artistic periode Safawi. Isfahan merupakan Paris atau Washinton pada masanya sendiri. Taman-tamannya, perpustakannya, pavilion dan mesjid-mesjidnya membuat takjub para pelancong Eropa yang tidak pernah melihat hal serupa di negeri mereka sendiri. Orang Iran menyebutkan Nish Al-jahan, yaitu separo dunia, melihatnya berarti melihat separo dunia.
Dibangun disuatu tempat sekitar 1600 meter di atas permukaan laut di dataran Iran tengah dan dikelilingi pegunungan, Isfahan menjadi salah satu  dari kota-kota elegan di dunia.[18] Syah abbas I membangun kota baru tersebut mengitari Maydan Syah, yakni sebuah alun-alun yang sangat besar dengan luas sekitar 160x 500 meter. Alun-alun tersebut berfungsi sebagai pasar, tempat perayaan dan sebagai lapangan permainan polo. Ia dikelilingi oleh sederetan tokoh bertingkat dua dan sejumlah gedung utama pada setiap sisinya. Pada sisi bagian timur terdapat mesjid Syekh Lutfullah yang merupakan sebuah sebuah oratorium yang disediakan sebagai tempat peribadatan peribadi Syah. Pada sisi bagian selatan terdapat mesjid kerajaan. Pada sisi bagian barat berdiri Istana Ali Qapu yang merupakan gedung pusat pemerintahan. Pada sisi bagian utara dari Maydan berdiri bangunan monumental yang menjadi symbol bagi gerbang menuju bazaar kerajaan dan sejumlah pertokohan, caravansacies dan sejumlah perguruan. Dari Maydan, terdapat sebuah jalan raya yang disebut Chahar Bagh sepanjang empat kilometer, degan dihiyasi taman-taman di kedua sisanya. Chahar Bagh menghubungkan istana musim panas yang di tempat inilah sang penguasa memberikan saran-saran kepada duta besar dan mengadakan upacara resmi kenegaraan. Pada sisi lain dari raya ini terdapat tempat tinggal para pegawai istana dan para duta besar asing. Seluruh ansambel ini merupakan masterpiece bagi tata kota Timur Tengah.[19]
Ketika Syah  Abbas I  wafat, di Isfahan terdapat 162 mesjid, 48 perguruan tinggi, 1802  penginapan yang luas para tamu Khalifah dan 273 pemandian umum. Di bidang seni, kemajuan tampak begitu jelas dalam gaya arsitektur Persia pada bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada masjid Syah yang dibangun tahun 1611 M dan masjid Syekh Luthfullah yang dibangun pada tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian, tenunan, tenbikar dan benda-benda seni lainnya.
Adapun seni lukis sudah ada sejak zaman Ismail I dan Tahmasp I. Pada tahun 1510 sekolah lukis Timuriyah di pindahkan oleh Ismail I dari Herat ke Tabriz. Bagdad, seorang pelukis terbesar pada masa itu dilantik menjadi kepala perpustakaan Raja sebagai pembimbing sebuah warkshop yang menghasilkan sejumlah manuskrip yang tercerahkan. Syah Tahmasp juga seorang tokoh seniman besar yang menghasilkan pakaian jubah, hiasan dinding dan sutra serta sejumlah karya seni logam dan kramik. Pada masa itu terdapat sekolah seni lukis yang menerbitkan sebuah edisi Syah Nameh(buku tentang Raja-raja ) yang memuat lebih dari 250 lukisan. Ini adalah salah satu karya besar seni manuskrip Iran dan Islam yang tercerahkan. Sementara Syah Abbas I mengembangkan lukisan-lukisan tentang peperangan, pemandangan perburuan dan upacara kerajaan. Di atas segalanya, secara peribadi Syah Abbas I mendukung dan mempelopori kegiatan seni seperti mendirikan bengkel-bengkel kerja para seniman, sehingga mencipakan suatu iklim yang kondusif bagi perkembangan seni.bahkan kisah populer menyebutkan bahwa Syah Abbas I memegang lilin, sementara pelukis kaligrafi kesayangannya, Ali Reza bekerja. 
Selain lukisan, kerajinan logam, tekstil, karpet dan kramik mencapai suatu penyempurnaan yang baru. Berbagai pencapaian para era ini paling jelas terlihat bahkan hingga masa sekarang dengan sebuah kunjungan singkat ke makam-makam dan mesjid-mesjid di Iran: ubinnya, kaligrafinya, warna-warna lukisannya dan simetris bangunan-bangunannya telah bertahan menghadapi ujian masa berabad-abad.[20]
Kemajuan di bidang pendidikan tidaklah ditinggalkan oleh Syah Abbas I, Guna memperlancar sosialisasi dan memapankan ajaran Syiah, Syah Abbas I mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Syiah. Banyak sekolah-sekolah dibangun di Isfahan, Masyad dn Siraj. Di antaranya adalah sekolah teologi, sekolah Khan di Siraj (Iran Tenggara) yang terkenal dengan seorang tokoh pengajarnya, yaitu Mula Shadra. Sekolah ini mendapat pengakuan dari para wisatawan asing dari Eropa yang menyaksikan langsung sebagai tempat kehidupan akademis komherensip dan sangat aktif.[21] Ini menunjukkan adanya perubahan besar dalaam proses pengembangan lembaga dan system pendidikan Syiah pada permulaan abad ke-17 di Iran, terutama di ibukota Isfahan. Sistem pendidikan yang di bangun oleh Syah Abbas I ini merupakan rintisan yang kelak menjadi model pada masa Dinasti Qajar yang telah melahirkan pusat kajian yang sangat penting di dunia Syiah.
Pada masa Dinasti Safawi kemajuan di bidang filsafat dan Ilmu pengetahuan dbangkitkan kembali, khususnya dikalangan orang-orang Persia yang berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan. Perkembangan baru ini era kaitannya dengan aliran Syiah yang ditetapkan Dinasti Safawi sebagai aliran agama resmi Negara.
Dalam Syiah dua belas ada dua golongan, yaitu Akhbari dan Ushuli. Mereka berbeda dalam memahami ajaran agama. Golongan Akhbari cenderung berpegang teguh pada hasil-hasil ijtihad pada mujtahid Syiah yang sudah mapan. Sedangkan golongan Ushuli lebih utamakan mengambil langsung dari sumber ajaran Islam, Alquran dan Hadis tanpa terikat oeh para mujtahid. Golongan Ushuli inilah yang paling berperan pada masa Safawi. Pertemuan kedua elemen kelompok inilah yang berperan pada terwujudnya perkembangan baru dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang kemudian melahirkan beberapa filosof dan ilmuwan.
Pada masa Safawi berkembang dua aliran filsafat. Pertama, aliran filsafat perifatetik sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-farabi. Kedua, filsafat Isyragi yang dibawa oleh Suhrawardi  pada abad XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di perguruan tinggi Isfahan dan Syiraz. Di bidang filsafat ini muncul beberapa nama filosof di antaranya, Mir Damad alias Muhammad Baqir Damad (wafat 1631 M) yang diaggap sebagai guru ketiga (mu’allim salis) sesudah Aristoteles dan Al-farabi. Selain dikenal sebagai filosof, ia juga adalah seorang teolog ahli sejarah serta seorang ilmuwan yang pernah mengadakan penelitian tentang kehidupan lebah. Tokoh filsafat lainnya adalah Mullah Shadraatau Shadr al-Din al-Syirazy. Ia adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya. Selain itu, Ia dianggap mempunyai kemampuan untuk mengambil jalan tengah antara filsafat perifatetik Ibnu Sina dengan filsafat esoteric Ibnu Arabi, sehingga karyanya dipandang monumental sebagai tingkat perjalanan agnostic yang sistematis dengan baju logika. Berkembangnya tipe filsafat semacam ini sesuai dengan minat besar mereka terhadap ilmu pengetahuan dan cara berfikir mendalam atau filsafat.[22].
D.    Kemunduran Dinasti Safawi
Setelah Syah Abbas wafat, ia digantikan oleh cucunya Syam Mirza yang diumumkan sebagai raja dengan gelar Syah Shafi pada tanggal 23 Jumadil Akhir 1038/17 Pebruari 1629. Masa pemerintahannya merupakan awal kemunduran pada masa pemerintahan Syah Shafi disebabkan oleh kebijakannya merubah administrasi pemerintahan dalam negeri atas saran wazirnya Saru Taqi. Selama ini pemerintahan daerah-daerah propinsi dibawa dominasi Qizilbasy, tetapi Karena ulah mereka yang enggan mengisi kas pemerintah pusat, maka Syah menetapkan pemerintahan propinsi-propinsi tersebut, terutama propinsi kaya seperti Fars langsung dibawa pemerintahan pusat.
Hal yang sama masih terus berlangsung hingga masa pemerintahan selanjutnya, yaitu pemerintahan Syah Abbas II (1052-1077/1642-1666). Propinsi-propinsi yang selama ini dikuasai kelompok Qizilbasy, khususnya Khurasan, Qazvin, Azerbaijan, Yazd, Qirman, Gulan dan Mazandaraan semuanya diperintah langsung oeh Syah. Kebijakan ini  membawa akibat-akibat negatif bagi kerajaan sendiri. Kelompok Qizilbas, dilemahkan peran mereka dalam pemerintahan. Akibatnya ialah  kehilangan kekuatannya, baik pemerintahan maupun militer. Kelemahan dan kekuatan militer yang terdiri dari kelompok Qizilbasy dan para Ghulam tidak segera ditanggulangi. Kelompok Ghulam tidak memiliki kualitas tempur seperti yang dimiliki oleh kelompok Qizilbasy.
Setelah Syah Abbas II wafat, kemorosotan kerajaan semakin tak tertahan lagi. Hal ini disebabkan adanya campur tangan para harem dalam urusan politik, yaitu dalam pengangkatan seorang Syah. Telah menjadi kebiasaan sejak Ismail I dan Thahamasp menunjuk calon putra mahkota sebagai Gubernur di Khurasan. Calon putra mahkota tersebut ditempatkan dibawah asuhan seorang lala (pengasuh). Pangeran muda, calon putra mahkota itu mendapat pendidikan dan latihan untuk bekal menduduki singgasana kelak. Saudara-saudaranya yang lain juga diangkat sebagai Gubernur di propinsi yang berbeda  dengan diasuh oleh seorang lala serta mendapat perlakuan yang sama pula. Sistem ini sangat berbahaya karena seorang lala tidak jarang merencanakan pemberontakan terhadap ayah yang memerintah. Terjadilah intrik dan rivalitas antar pangeran untuk memperoleh kekuasaan. Karena para pangeran itu lahir dari ibu yang berbeda, maka terjadi pula intrik dan persaingan antara ibu-ibu pangeran tersebut yang di latar belakangi oleh ambisi masing-masing untuk memperoleh kekuasaan sebagai Syah. Hal itu terjadi pada penetapan Syah Sulaiman adalah melalui pertarungan antara wanita-wanita istana itu, Demikian pula halnya dengan Syah Husain.
Pengganti Syah Abbas II adalah Syah Sulaiman (1070 H-1666 M-1106 H-1694 M). Seperti Syah Shafi, Syah Sulaiman bukan saja tidak cakap dalam masalah politik kenegaraan, tetapi juga perhatiannya sangat kecil terhadap pemerintahan dan kemasyarakatan. Ia lebih senang berhura-hura dengan para wanita dan mabuk-mabukan hingga kecanduan minuman keras. Kondisi ini menyebabkan munculnya gejala keruntuhan kerajaan Safawi. Kelemahan Syah Sulaiman memerintah dimanfaatkan kalangan ulama untuk memainkan peran politiknya. Gerakan politik ulama ini dimotori oleh Muhammad Baqir Majlisi yang menjadi Syekh al-Islam Isfahan pada 1098 H/1687 M dan Mullabasyi (pemimpin Mullah) pada 1106 H/1698 M.[23]
Selanjutnya Syah Sulaiman digantikan oleh Syah Husain (1694-1722). Ia juga lemah dan tidak cakap menjalankan pemerintahan. Ia malah menyerahkan urusan pemerintahan kepada kaum agamawan yang sangat fanatic Syiah, seperti Majelisi. Keputusan Syah Husain tersebut membuat pemerintah semakin kacau. Ulama fanatic Syiah semakin menekan kelompok sunni secara membabi buta Sikap tersebut membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi.[24]
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi
Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi gebernur di Qandahar dengan gelar Husei Quli Khan (budak Husein). Dengan pengakuai ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Shah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan[25]
Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II di pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia[26]
E.     Kontribusi Dinasti Safawi Terhadap Perkembangan Iran Modern
            Pada zaman Safavid (1502-1736), kebudayaan Persia mulai berkembang kembali terutama pada zaman Shah Abbas I. Sebagian sejarawan berpendapat bahawa negara Iran modern didirikan oleh Kesultanan Safavid. Banyak kebudayaan Iran pada hari ini berasal dari zaman pemerintahan Safavid termasuk pengenalan aliran Syiah di Iran.
Selepas dari berakhirnya kerajaan Safawi ditanah Persia, pada tahun 1722 M, Persia berhasil di kuasai oleh Afghanistan, meskipun dinasti Safawi masih ada dengan Syah Tahmasp II sebagai rajanya namun kekuasaannya di Persia sudah jauh menyempit jika dibandingkan Afghanistan yang berhasil menguasai sebagian besar tanah Persia, namun kekuasaan Afghanistan tidak berlangsung lama  karena kedatangan Nadir Syah ditanah Persia yang melakukan propaganda dengan menggunakan keturunan dari kerajaan Safawi  Shah Abbas II dan berhasil mengusir orang-orang Ustmaniyah dan Rusia, sehingga Shah Abbas II menjadi penguasa Persia.
Menjadi Raja sebagai kelanjutan Dinasti Safawi, Shah Abbas II tidak berhasil mempertahankan kekuasaanya,karena aktor dibalik keberhasilan Dinasti Safawi ialah Nadir Syah, sehingga ia mengambil alih kekuasaan dari Syah Abbas II pada tahun ketiga Syah Abbas menjadi Raja, yakni pada tahun 1736 M, dengan demikian berakhir sudahkekuasaan Dinasti Safawi.
Kemudian pada kurun waktu 1779 – 1925 M kerajaan Persia berada dibawah kekuasaan Qa’ariyah, Ketika Perang Dunia I, Iran berada di bawah pengaruh Inggris dan Rusia walaupun kebijakan pemerintahannya netral. Pada 1919, Inggris mencoba menjadikan Iran sebagai negeri naungan mereka tetapi rencana macet saat Shah Reza berhasil melakukan kudeta  dan mendirikan Dinasti Pahlavi. Shah Reza Pahlavi memerintah  selama 16 tahun dan memulai proses pemodernan serta mendirikan pemerintahan sekular baru.[27]
Sejak penemuan minyak, Persia menjadi sumber cadangan minyak utama bagi negara-negara Sekutu. Ketika Perang Dunia II, tentara Sekutu meminta agar Shah Reza menghalau keluar teknisi Jerman tetapi permintaan ini ditolak. Maka, tentara Sekutu melancarkan serangan atas Iran dan menyingkirkan Shah Reza dan melantik puteranya Shah Mohammad Reza menjadi pengganti Raja. Namun begitu, Shah Mohammad hanyalah boneka Inggris dalam administrasi Iran dan pemerintahannya bersifat otokratis dan dibenci rakyat.[28]
Setelah berbulan lamanya protes dilancarkan terhadap pemerintahan tangan besi Shah Mohammad, pada 16 Januari 1979 ia terpaksa melarikan diri ke Mesir sekaligus mengakhiri dinasti Pahlavi. Selepas itu, Iran terlibat dalam kancah domestik yang menyaksikan persengketaan di antara pendukung revolusi Iran dan pendukung kerajaan sementara warisan Shah Mohammad yang dikepalai Dr. Shapour Bakhtiar. Pada saat kembalinya Ayatollah Khomeini, pencetus revolusi Iran, ia melantik Mehdi Bazargan sebagai perdana menteri baru Iran. Ini menyebabkan Iran terbagi dua, pemerintahan revolusi dan pemerintahan sementara. Namun begitu, pemerintahan sementara  kalah dalam persaingan merebut kuasa saat pihak militer Iran menyatakan netral. Setelah itu, jajak pendapat dibuat untuk mendirikan sebuah pemerintahan baru. Keputusannya, 98% rakyat menyokong gagasan ini dan akhirnya  terbentuk Republik Islam Iran.[29]
Dari penjelasan  diatas dapat di fahami bahwa perkembangan Iran modern merupakan warisan dari kekuasaan Dinasti Safawi yang merupakan awal  penguasa Islam di tanah Persia, semenjak  kekosongan penguasa asli dari Persia pasca habisnya kerajaan Persia Kuno. Sebuah kebudayaan, serta bangunan dan peradaban baru di mulai  di masa Dinasti Safawi menguasai Persia, terutama kegemilangan pada masa Shah Abbas I memimpin yang mampu memberikan sumbangsih besar terhadap perkembangannya, bahkan penetapan madzhab Syiah sejak dinasti Safawi hingga sekarang masih tetap berlanjut. 
PUSTAKA

Abdullah, Taufik …et al, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 2, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.)
Akbar S. Ahmed,1997, From Samarkand to Stornoway Living Islam ,diterjemahkan Pangestuningsi, Living Islam (Bandung: Penerbit Mizan,)
Azra,Azyumardi et.al, selanjutnya disebut Azyumardi, Ensiklopedi Islam JilidIII (Jakarta:PT.Ikhitiar Baru Van Hoeve)
Allouche, 1980, The Origins and Develovment of The Ottoman Safavid Conflict 1500-1555, (Michigan: Michigan University MicroFilm Internasional)
Demircy, Suleyman  The Iranian Revolution and Shia Islam: The Role of Islam in the Iranian Revolution  (History Studies, International Journal Of History : Volume 5 Issue 3, May 2013)
Holt, et.al. (ed), 1970, The Cambridge History of Islam, (London: Cambridge University Press,Vol. I.A.)
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societas, di terjemahkan Ghubron A. Mas’ud Sejarah social Umat Islam (Cet. II;Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2000),449.
Karim, 2007Sejarah Pemikiarn dan Peradaban Islam (Cet. I; Yokyakarta: Pustaka Book Publisher) 
Moojan Momen, 1985, An Introduction to Shi’i Islam, (New Haven and London: Yale University Press)
Supriyadi, Dedi, 2008, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : Pustaka Setia)
Thohir, Ajid 2004, Perkembangan Peradaban di kawasan Dunia Islam (Cet.1; Jakarta: PT. Raja Grafindo)
Yatim,Badri, 1999, Sejarah Peradaban Islam (Cet. IX; Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada)




[1] Badri,Yatim 1999, Sejarah Peradaban Islam (Cet. IX; Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada),138.
[2] Harun Nasution, 1984, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press), 84.
[3] Taufik Abdullah…et al, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 2, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,263
[4] Ibid, 264.
[5] Ibid,266.
[6] Holt, et.al. (ed), The Cambridge History of Islam, (London: Cambridge University Press, 1970), Vol. I.A. 398
[7] Moojan Momen, An Introduction to Shi’i Islam, (New Haven and London: Yale University Press, 1985), 105.
[8] Allouche, The Origins and Develovment of The Ottoman Safavid Conflict 1500-1555, (Michigan: Michigan University MicroFilm Internasional,1980),130
[9] Ibid,131.
[10] Holt, (et.al.), The Cambridge History of Islam, 397.
[11] Taufik Abdullah…et al, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 2, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,265
[12] Ibid, 266.
[13] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam (Cet. IX; Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h.142
[14] Ajid Thohir, selanjutnya disebut Ajid, Perkembangan Peradaban di kawasan Dunia Islam (Cet.1; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004),175
[15] Badri yatim,  Sejarah Peradaban Islam (Cet. IX; Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1999),75.
[16] Ibid, 143.
[17] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societas, di terjemahkan Ghubron A. Mas’ud Sejarah social Umat Islam (Cet. II;Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2000),449.
[18] Akbar S. Ahmed, From Samarkand to Stornoway Living Islam,diterjemahkanPangestuningsi, Living Islam (Cet.I;Bandung: Penerbit Mizan, 1997),130.
[19]  Ira Lapidus, A History of Islamic Societas, di terjemahkan Ghubron A. Mas’ud Sejarah social Umat Islam (Cet. II;Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2000), 453.
[20] Akbar S. Ahmed,  From Samarkand to Stornoway Living Islam,.130
[21] Abd Karim, Sejarah Pemikiarn dan Peradaban Islam (Cet. I; Yokyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),308. 
[22] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam ,144.
[23] Azyumardi Azra, selanjutnya disebut Azyumardi, Ensiklopedi Islam JilidIII (Jakarta:PT.Ikhitiar Baru Van Hoeve),103.
[24] Hamka, 1981, Sejarah Umat Islam,71.
[25] Holt, The Cambridge History of Islam, 426.
[26] Ibid,428-429.
[27] Dedi supriyadi, 2008, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : Pustaka Setia), 300.
[28] Ibid, 300
[29] Suleyman Demircy,  The Iranian Revolution and Shia Islam: The Role of Islam in the Iranian Revolution  (History Studies, International Journal Of History : Volume 5 Issue 3, May 2013)

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post