Sunday 8 November 2015

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

PERKAWINAN BEDA AGAMA DARI SUDUT PANDANG HUKUM DI INDONESIA

1.         Ketentuan Hukum Positif
Pemerintah Indonesia mengatur masalah perkawinan bagi warga negaranya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pada Pasal 1 disebutkan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.” Menurut Prakoso dan Murtika (1987: 3), Arti perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 1 adalah “ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai suami isteri sedangkan tujuannya membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kemudian pada Pasal 2 disebutkan bahwa: “1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Menurut Ichtiyanto (2003:81-85), Asas Pasal 2 ayat (1) ini berlaku untuk semua pernikahan yang dilaksanakan di Indonesia termasuk pernikahan antar agama. ia menambahkan bahwa maksud kata “masing-masing” dalam UU perkawinan tertuju pada agama-agama yang dipeluk di Indoneisa, bukan mengacu kepada masing-masing pengantin.
Penafsiran Ichtiyanto terhadap kata “masing-masing” yang dimaksudkan tertuju pada agama-agama yang dipeluk memberikan kesan bahwa apabila ada suatu agama yang membolehkan pemeluknya melakukan perkawinan beda agama maka perkawinan yang diselenggarakan menurut agama tersebut menjadikan perkawinan beda agama tersebut berstatus sah.
Suatu perkawinan yang sah merupakan prasyarat yang utama untuk membentuk sebuah keluarga dan agar keturunan yang dihasilkan dari perkawinan tersebut mendapatkan haknya sebagai warga negara. Menurut Asshiddiqie (2013:115), “Perkawinan yang sah merupakan prasyarat untuk adanya hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan itu. Negara tidak menjamin hak untuk membentuk keluarga dan mendapatkan keturunan tanpa terikat perkawinan yang sah”.
Sementara itu, pengertian Perkawinan dalam Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 adalah sebagai berikut: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Akad yang kuat ini disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 21 yang berbunyi:

Artinya, Annisa : 21. bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
Selanjutnya disebutkan pada pasal 3 dan 4 tentang tujuan dan sahnya perkawinan sebagai berikut: Pasal 3, Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Pasal 4, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pada Kompilasi Hukum Islam tersebut juga dapat dilihat mengenai larangan melangsungkan pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu antara lain seorang wanita yang tidak beragama Islam (Pasal 40) dan seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam (Pasal 44).
2.         Lembaga Pencatatan Perkawinan
Di Indonesia terdapat dua lembaga yang mencatat perkawinan yaitu Kantor Urusan Agama (KUA), khusus untuk masyarakat yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS), untuk masyarakat umum.
Indonesia dengan masyarakat yang pluralistik sangat memungkinkan terjadi perkawinan antara dua pemeluk agama yang berlainan. Ada tiga cara yang dapat ditempuh untuk melegalkan perkawinan beda agama ini yaitu: 1) menikah di negara lain, ini biasa dilakukan oleh mereka yang mempunyai kelimpahan materi; 2) salah satu pihak pindah agama kemudian setelah menikah kembali memeluk agamanya yang terdahulu. Hal ini dapat dikategorikan penyelundupan hukum dan sangat tidak disarankan; 3) menikah di Kantor Catatan Sipil berdasarkan Putusan MA No. 1400K/Pdt/1986. (Sastra, 2011: 86-87)
Gautama (1996:289), menyebutkan bahwa ada sejumlah tempat dimana Kantor Catatan Sipil (KCS) bisa mencatatkan pernikahan beda agama. hal ini dapat dilihat pada beberapa penetapan berikut:
a.         Penetapan pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pdt/P/1990, 3 April 1990 antara Bambang Djatmiko Setiabudi, pria Indonesia Islam dan Maliangkay Sharon dari perempuan Kristen, didasarkan atas Putusan Mahkamah Agung No. 1400K/Pdt/1986.
b.        Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 151/Pdt/P/1988 antara Cornelis Hendrik, laki-laki Indonesia beragama Budha dengan Siti Nuraini Isa, perempuan Indonesia beragama Islam. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974. Hakim telah menggunakan materi aturan dari Regeling op de Gemengde Huweijken (GHR), aturan tentang perkawinan campur zaman pendudukan Belanda, 1989 No. 158 mengingat dalam UU 1974 No.1 tidak mengatur pernikahan beda agama secara devintif.
c.         Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 456/Pdt/P/1988/PN tanggal 29 Juni 1988, antara Geri Lumempow seorang laki-laki Indonesia Kristen dengan Gina Lasiarti seorang wanita Islam dengan alasan bahwa sesuai pasal 29 UUD 1945. Sesungguhnya tidak ada paksaan bagi warga Indonesia untuk memeluk suatu agama tertentu, demikian pula tidak ada paksaan atau desakan agama yang satu terhadap yang lain yang menyebabkan seseorang untuk pindah agama. sesuai dengan Rakernas Mahkamah Agung dengan Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia tahun 1986, No. 102, menurut pasal 2 ayat 2 PP No. 9/1975, pencatatan mereka yang melangsungkan pernikahan menurut agama dan kepercayaan selain Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Kantor Pencatatan Sipil. Kalau pegawai Kantor Catatan Sipil menolak, pengadilan berwenang memerintahkan mereka untuk mencatat pernikahan tersebut.
3.         Aspek Yang Perlu Diperhatikan Dalam Perkawinan Beda Agama
Sastra (2011:54-84), memaparkan bahwa Pernikahan beda agama memiliki beberapa aspek yang perlu diperhatikan antara lain:
a)        Aspek Psikologis
Problem yang muncul pada pasangan beda agama, yang pada akhirnya berimbas kepada anak-anak mereka antara lain: a) memudarnya kehidupan rumah tangga, pada saat usia lanjut kebahagiaan yang dicari bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi agama; b) tujuan rumah tangga tidak tercapai, hal ini dikarenakan suasana keberagamaan dalam keluarga beda agama sulit diwujudkan; c) perkawinan mempertemukan dua keluarga besar; d) berebut pengaruh, dampak psikologis orang tua beda agama akan sangat dirasakan oleh anak-anaknya. Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang mereka yakini yang kemudian menimbulkan kebingungan pada anak.
b)        Aspek Religius
Aspek religius ini menyangkut beberapat hal antara lain: a) pandangan agama Islam, yang pada prinsipnya tidak memperkenankan pernikahan beda agama; b) pandangan agama Khatolik, pernikahan katholik dan bukan khatolik bukan merupakan perkawinan yang ideal sehingga menganjurkan penganutnya kawin dengan orang yang beragama katholik; c) Pandangan agama Protestan, pada prinsipnya menghendaki penganutnya kawin dengan orang yang seagama karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman. Namun pada prakteknya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) menerima dan dapat melaksanakan pernikahan beda agama dengan syarat sesuai Tata Laksana GKI Pasal 29:9b; d) pandangan agama hindu, perkawinan beda agama tidak boleh dan pendande/pendeta akan menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut; e) pandangan agama Budha, membolehkan pernikahan beda agama dengan ketentuan dijalankan menurut agama Budha.
c)         Aspek Yuridis

Hukum perkawinan di berbagai negara tidaklah sama antara negara satu dengan yang negara yang lain. Pada dasarnya pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan terutama pada negara yang menggunakan agama sebagai asas moral dalam pemerintahannya, namun hal ini kemudian mengalami pergeseran seperti reformasi hukum di Barat yang menggeser hukum Tuhan/ hukum agama ke hukum manusia. Disini perkawinan diartikan sebagai kontrak antara dua pihak berdasarkan kehendak keduanya.

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post