Wednesday 2 March 2016

PENDIDIKAN MODERN DI MESIR



A.    PENDAHULUAN
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak- anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan[1]. Rumusan tentang pendidikan, lebih jauh termuat dalam UU. No. 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan Indonesia bertujuan agar masyarakat Indonesia mempunyai pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, arah dari proses pendidikan nasional mencakup berbagai aspek kehidupan diri manusia dan masyarakat untuk survive dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berbicara masalah pendidikan meliputi cakupan yang cukup luas, bahkan dalam mendefinisikan pengertian pendidikan juga bervariasi. Ada yang mengartikan pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di lingkungan masyarakat dimana ia berada. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses sosial, di mana seseorang dihadapkan pada kondisi dan pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (contoh paling nyata sekolah) sehingga yang bersangkutan mengalami perkembangan secara optimal.
Dari beberapa definisi tersebut menunjukkan melihat pendidikan dari sudut pandang yang berbeda. Yang pertama, melihat dari sudut pandang psikologis, dan yang kedua dari sudut pandang sosiologis. Banyak sudut pandang untuk dapat merumuskan pengertian pendidikan sehingga banyak juga definisi tentang pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa pendidikan adalah proses untuk membina diri seseorang dan masyarakat agar dapat survive dalam menjalani hidupnya.
B.     SISTEM PENDIDIKAN MODERN DI MESIR
Ridwan Sayyed membagi kemodern-an al-Azhar ke dalam 3 fase, yakni fase Muhammad Abduh, Fase Abad 20 dan Fase 21. Pada fase Muhammad Abduh merupakan fase rintisan yang telah dilakukan al-Azhar dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan dan rasionalisasi pendidikan Islam.[2]Muhammad Abduh memandang perlunya integrasi pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Beliau menganggap perlunya diajarkan ilmu pengetahuan modern di al-Azhar, di samping memperkuat ilmu-ilmu agama.[3] Hasil dari perjuangan beliau, maka pada masa ini mulai dimasukkan kurikulum modern, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah. Di samping masjid didirikan Dewan Administrasi al-Azhar (‘idarah al-Azhar) dan diangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syaikh. Juga dibangun Rauq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan untuk guru dan mahasiswa.[4]
Kedua, fase abad ke- 20. Pada  fase ini, al-Azhar sudah memulai untuk mengintegrasikan diri dengan pemerintah. Al-Azhar juga mulai beradaptasi dengan menjawab beberapa isu kontemporer dalam kaitan dengan isu modern dan modial. Pada masa ini pendidikan menjadi 4 jenjang,
a.       Pendidikan rendah selam 4 tahun
b.      Pendidikan menengah selama 5 tahun
c.       Pendidikan Tinggi selama 4 tahun
d.      Pendidikan Tinggi Keterampilan selama 5 tahun.[5]
Ketiga, fase abad 21. Pada fase ini, al-Azhar secara eksplisit menjadikan dirinya sebagai gerakan moderat. Salah satu tuntunan yang harus segera diimplementasikan adalah ijtihad dan pengaturan metodologi konklusi hukum, yang memadukan antara teks-teks klassik dengan perangkat-perangkat pengetahuan modern.[6] Pada fase ini, al-Azhar mulai mempelajari sistem penelitian yang dilakukan universitas barat, dan mengirim alumni terbaiknya ke Eropa dan Amerika.
Pada abad ke-21 ini, Al Azhar mulai memandang perlunya mempelajari sistem penelitihan yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim Alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Tujuan mengirim ini adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah ditingkat internasional sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan pemahaman Islam yang benar. Cukup banyak duta Al Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas luar tersebut, diantaranya ialah: Syekh DR. Abdul Halim Mahmud, Syekh DR. Muhammad Al Bahy.[7]
Sebelumnya, pada tahun 1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur Al Azhar mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi Universitas Al Azhar menjadi tiga fakultas yaitu: Syari’ah, Usuluddin, Bahasa Arab. Fakultras induk Syari’ah wal qonun di Cairo merupakan bangunan pertama yang berdiri pada tahun 1930 M. semula bernama Syari’ah, lalu pada tahun 1961 dirubah menjadi nama seperti sekarang. Fakultas induk Usuluddin dan bahasa Arab di Kairo juga didirikan pada tahun 1930 M. penjurusan diatur kembali pada tahun 1961 M. fakultas Dakwah islamiyyah didirikan dengan keputusan presiden (keppres) no 380 tahun 1978 yang dikeluarkan pada 16 Ramadlon 1398 H. (20 Agustus 1978). Fakultas Dirasah Islamiyah wal Arabiyah memulai kuliahnya pada tahun 1965 M. sebagai salah satu jurusan dari Fakultas Syari’ah. Pada tahun 1972 keluar keppres no 7 yang menjadikan fakultas ini sebagai lembaga tersendiri dengan nama Ma’had Dirasat Al Islamiyah Wal Arabiyah (Institut of Islamic and Arabic studies) namun pada tahun 1976 M. keluar keputuhan presiden nomor 299 yang kembali menjadikan institut ini sebagai fakultas tersendiri, dengan jurusan: Usuluddin Syari’ah Islamiyah Bahasa dan Sastra Arab.[8]
Angin pembaharuan kembali berhembus di Al Azhar pada 5 mei 1961 M. dimasa kepemimpinan Syekh Mahmoud Syalthout. Peran Syaikh Al Azhar diciutkan menjadi jabatan simbolis sehingga kurang mempunyai pengaruh langsung terhadap lembaga pendidikan yang ada dibawah pimpinannya. Undang-undang pembaharuan ini disebut undang-undang revosusi Mesir nomor 103 tahun 1961 M. Undang-undang ini memberikan kemungkinan besar perubahan structural pendidikan di Al Azhar, sehingga diantaranya membolehkan lulusan SD atau SMP Al Azhar untuk melanjutkan studinya ke SMP atau SMA milik Departemen pendidikan, atau sebaliknya. Dalam ruang lingkup pendidikan tinggi, disamping fakultas-fakultas keislaman, ditambahkan pula berbagai fakultas baru seperti: Tarbiyah, Kedokteran, Perdagangan/Ekonomi, Sains, Pertanian, Teknik, Farmasi, dan sebagainya. Juga dibangun fakultas khusus putrid (Kulliyatu al-Banat) dengan berbagai jurusan.
Al Azhar mempunyai 3 rumah sakit Universitas: Husein Hospital, Zahra’ Hospital, dan Bab el Sya’riah Hospital. Sementara itu, Nasser Islamic Mission City (Madinat Nasser Lil Bu’uts Al-Islamiyah) untuk orang asing dibuka pada bulan September 1959 M.
Universitas (Jami’ah) Al Azhar hanyalah salah satu lembaga resmi yang dimiliki Al Azhar masih ada lembaga lain yang sempat terbentuk, seperti:
a.       Lembaga pendidikan Dasar dan Menengah (Al Ma’ahid Al-Azhariyah).
b.      Biro Kebudayaan dan missi Islam (Idarah Ats-tsaqofah wal Bu’uts Al-Islamiyah).
c.       Majlis tinggi Al Azhar (Al-Majlis Al-A’la Lil Azhar)
d.      Lembaga Riset Islam (Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah).
Sejak mula berdirinya, studi Al-Azhar selalu terbuka untuk semua pelajar dari seluruh dunia, hingga kini Universitas Al-Azhar memiliki lebih dari 50 Fakultas yang tersebar diseluruh pelosok Mesir dengan jumlah Mahasiswa/i melebihi angka 200 ribu orang. Itulah potret Al-Azhar yang tetap tegar dalam kurun usia senja.
Demikian banyak perkembangan yang dialami al-Azhar, namun tidak sejalan dengan sistem pendidikan dan birokrasi di al-Azhar. Berbeda dengan kebanyakan universitas lain yang sudah memberlakukan sistem modern dan canggih, al-Azhar al-Syarif hingga kini masih eksis dengan sistem klasiknya. Al-Azhar menerapkan sistem pendidikan dengan jenjang empat tahun. Tidak adanya absensi di semua tingkat kuliah layaknya universitas-universitas lain, kecuali beberapa tingkat saja. Mahasiswa di sini begitu bebas dalam perkuliahan, hal ini memang terlihat rancu dan kurang kondusifnya sistem pembelajaran di al-Azhar.
Kendati demikian, ada filosofi yang harus diketahui di balik sistem klasik al-Azhar. Al-Azhar al-Syarif benar-benar mendidik seorang pencari ilmu untuk mencari bukan dicari, untuk menunggu bukan ditunggu dan untuk mengambil bukan diambil, hal ini sesuai arti mahasiswa dalam bahasa Arab“talib” yang diambil dari kata “talaba-yatlubu” yaitu mencari. Al-Azhar mendidik para mahasiswanya untuk mencari ilmu di setiap sudut negeri ini. Karena al-Azhar sesungguhnya adalah sebuah masjid di mana terdapat halakah-halakah ilmu. Di sana diajarkan berbagai macam bidang ilmu yang tidak didapatkan di bangku kuliah, terlebih ilmu-ilmu turats (klasik).
Al-Azhar pun terkenal dengan sistem sanad (riwayat), di mana seorang murid mengambil sebuah ilmu langsung dari gurunya dengan bertatap muka dan tentunya para murid pun diuji seberapa jauh ia menguasi ilmu tersebut. Sistem ini ternyata sudah ada semenjak Rasulullah SAW dan dipraktikkan oleh para Sahabat dan ulama sesudahnya. Sistem sanad ini pulalah yang menjadikan kelimuan Islam tetap terjaga dari masa ke masa.
Hal menarik lain dari al-Azhar adalah sistem administrasi yang masih manual. Tidak seperti universitas di Indonesia yang sudah memakai komputer dan alat canggih lainnya. Di al-Azhar, administrasi masih menggunakan tulisan tangan. Hal ini pula yang membuat para mahasiswa harus mengantre panjang, bahkan harus menunggu berhari-hari untuk menyelesaikan administrasi kuliah. Tapi hal itu tidak membuat para mahasiswa surut dan malas. Banyak di antara mereka yang sabar menunggu bahkan,  menurut sebagian mereka,  ini merupakan pembelajaran agar sabar dalam segala hal.
Begitu juga dengan ruang kuliah, al-Azhar masih menggunakan meja dan bangku panjang yang bisa diduduki sekitar lima sampai tujuh orang, yang seharusnya mahasiswa duduk sendiri-sendiri layaknya perkuliahan lain. Al-Azhar bukannya tidak mampu untuk membeli komputer ataupun meja dan bangku layaknya sebuah universitas, tapi inilah sifat kesederhanaan yang diajarkan oleh al-Azhar kepada para mahasiswanya.
Al-Azhar menggunakan sistem paket, jadi nilai mata kuliah yang diujikan ketika semester ganjil dan genap disatukan. Bagi mereka yang membawa lebih dari dua mata kuliah, akan mengulang selama setahun di kelas yang sama dengan mata kuliah yang ia bawa. Sedangkan mereka yang membawa satu atau dua mata kuliah, ia tetap naik kelas dan hanya diuji ulang mata pelajaran tersebut tanpa mengulang satu tahun di kelas yang sama.
Di sinilah terlihat ketatnya sistem ujian dan penialan di al-Azhar. Hal ini tidak lain karena al-Azhar ingin mengajarkan kepada para mahasiwanya sebuah kesungguhan dalam belajar dan mencari ilmu
C.    PEMBAHARUAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH
Pembaharuan pemikiran yang dilakukan Muhammad Abduh bukanlah hanya sebuah penolaka secara satu persatu atau secara global terhadap pemikiran-pemikiran yang telah ada (pemikiran yang terdahulu). Pembaharuannya juga bukan hanya sebuah pemeliharaan terhadap pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut. Akan tetapi pembaharuan yang dilakukannya merupakan usaha untuk memperbaiki, mengembangkan dan menjadikan intisari pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut agar disesuai dengan tuntunan zaman. Namun, Muhammad Abduh tidak pernah berfikir apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat.[9]
Muhammad Abduh menyadari kemunduran umat Islam bila dikontraskan dengan masyarakat Barat. Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni (kekuasaan) Barat yang mengancam eksistensi umat Islam, dan oleh realitas internal, seperti situasi yang yang diciptakan oleh umat Islam sendiri. Karena umat Islam tidak mau membuka diri  untuk  menerima  hal-hal  baru   yang  berasal   dari  Barat  dan  terus  terpaku     pada pemikiran Islam yang terdahulu. Muhammad Abduh menyadari seriusnya tantangan Barat, ia mengatakan :
....Bangsa Barat telah memasuki fasa baru yang bercirikan peradaban yang berdasarkan ilmu pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan, serta organisasi  politik baru yang berdasarkan pada penaklukan yang disangga oleh sarana baru, seperti melakukan perang dan oleh senjata yang mampu menyapu bersih banyak musuh. Namun itu tidak berarti bahwa umat Islam harus menyerah kepada kekuasaan Barat atau meniru gaya hidup Barat.[10]
Muhammad Abduh menegaskan bahwa Barat harus dilawan karena prinsip mereka yang tinggi tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan. Orang Mesir menderita karena percaya begitu saja kepada orang asing tanpa membedakan mana yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang berdusta, mana yang setia dan mana yang berkhianat.[11]
Muhammad Abduh adalah orang Mesir pertama yang menunjukkan keterbelakangan masyarakat Mesir dan fakta bahwa masyarakat Mesir telah kehilangan kapasitas untuk memperbarui dirinya. Problem sosial dan politik Mesir menurut Muhammad Abduh terjadi karena warisannya sendiri, yang telah membuat Mesir tak mampu menanggapi tantangan zaman. Selain faktor ekternal, ada juga faktor internal yaitu adanya perpecahan antara umat Islam. Dengan  adanya perpecahan antar umat Islam ini, menjadikan umat Islam melemah karena umat Islam menjadi berkelompok-kelompok dan menjadi bangsa-bangsa kecil dengan beragam sekte. Selain itu tercabang duanya kekhalifahan di Mesir, Kemunduran umat Islam disebabkan oleh kebodohan dan karena perpecahan sekterian, karena  tertutupnya pintu ijtihad dan adanya kekeliruan kebijakan pemimpin Islam. Bagi Muhammad Abduh zaman Islam yang ideal itu adalah zaman Nabi Muhammad dan sahabat- sahabat-Nya. Karena pada saat itu kecenderungan intelektual masih mewarnai umat Islam dan masih belum ada perpecahan mazhab atau pemikiran.[12]
Zaman keemasan Islam pada zaman klasik ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Kini ilmu pengetahuan sedang berkembang di negeri Barat, karenanya zaman kemajuan sekarang sedang dialami bangsa Barat. Jika ingin meraih kembali kejayaannya, umat Islam harus menguasai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini muncul akibat pemikiran yang diproses oleh akal.
Ilmu-ilmu pengetahuan modern banyak berasal dari hukum alam (Natural Laws), dan ilmu pengetahuan modern ini tidak bertentangan dengan Islam, yang sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Allah dan wahyu juga berasal dari Allah. Karena keduanya berasal dari Allah, maka ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada hukum alam, dan Islam sebenarnya, yang berdasarkan pada wahyu, tidak bisa dan tidak mungkin bertentangan. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan  modern dan ilmu pengetahuan modern mesti sesuai dengan Islam. Dalam zaman keemasan Islam, ilmu pengetahuan berkembang di bawah naungan pemerintah- pemerintah Islam yang ada pada waktu itu. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan agama, sehingga sebagai umat Islam kita harus mempergunakan akal kita dengan sebaik-baiknya.[13] Dalam Islam, menuntut ilmu itu merupakan fardhu (kewajiban) bagi setiap muslim. Dalam hadist disebutkan “Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang muslim” (H.R. Ahmad dan Ibn Majah).[14]
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari sebab-sebab kemajuan umat Islam di zaman klasik dan juga merupakan salah satu dari sebab-sebab kemajuan Barat sekarang ini. Muhammad Abduh mengatakan, untuk mencapai kemajuannya yang hilang, umat Islam sekarang haruslah kembali mempelajari dan mementingkan soal ilmu pengetahuan. Maka dari itu, umat Islam harus terlebih dahulu dibebaskan dari faham jumud, taklid, kembali lagi berijtihad dan kembali kepada Islam yang murni.
Selain keagamaan dan ilmu pengetahuan, Muhammad Abduh juga menaruh perhatian terhadap pembaharuan dalam bidang pendidikan. Islam sangat mendorong umatnya untuk lebih memperhatikan bidang pendidikan. Banyak keterangan, baik  dari Alquran maupun hadist yang berbicara mengenai pendidikan. Seperti dalam Q.S.Al-‘Alaq ayat 1-5. Kemudian, Nabi Muhammad saw bersabda “Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi orang Islam laki-laki dan perempuan. Tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat” (Al-Hadist).
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dari pendapatnya, Muahmmad Abduh menganjurkan umat Islam untuk mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan, serta umat Islam juga harus mementingkan soal pendidikan. Ia selalu mendorong  umat Islam di Mesir agar mementingkan soal pendidikan sebagai jalan memperoleh kemajuan. Muhammad Abduh ingin sekali memperbaiki metode pendidikan di Mesir, sebab semasa kecilnya Muhammad Abduh kurang puas dengan cara belajar yang diterapkan oleh gurunya. Ketika itu metode yang dipakai yaitu metode menghafal  luar kepala. Sebabnya ketika itu para pengajar hanya menyuruh murid didiknya untuk membaca dan menghafal nash (teks) di luar kepala, ditambah lagi para pengajar tidak memberikan penjelasan dan maksud dari nash (teks) tersebut. Sehingga banyak murid yang sudah belajar lama namun tidak mengetahui apa yang ia pelajari, termasuk Muhammad Abduh. Metode ini bisa dikatakan metode tradisional, dan ilmu pengetahuan yang dipelajari pada saat itu masih ilmu-ilmu seperti fiqh, tasawuf, kalam, tafsir dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Namun, ilmu pengetahuan modern pada saat itu juga sudah mulai berkembang terutama di sekolah-sekolah pemerintah.
Muhammad Abduh menginginkan dibukanya sekolah-sekolah modern, di mana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan di samping pengetahuan agama. Untuk memulai memperbaiki sistem pendidikan di Mesir, Muhammad Abduh mulai menerapkannya di Al-Azhar. Mempermodernkan sistem pendidikan di Al-Azhar, menurut Muhammad Abduh, akan mempunyai pengaruh besar dalam usaha pembaharuan Islam. Hal ini disebabkan lembaga pendidikan Al-Azhar merupakan tujuan bagi para penuntut ilmu dari segala penjuru dunia[15] Di perguruan ini seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Begitu juga ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan ketika Muhammad Abduh masih menjadi pelajar di Al-Azhar. Ia menginginkan agar ilmu-ilmu tersebut dipelajari   dan dihidupkan kembali, begitu juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diterapkan.[16] Dari  sini diharapkan para lulusannya dapat menjadi agen-agen pembaharu Islam yang akan dibawa ke negaranya masing-masing dan menjadi sarjana atau ulama modern. Usaha- usahanya dalam mengadakan pembaharu pendidikan di Al-Azhar mengundang konflik dan tantangan dari para ulama konservatif yang belum dapat melihat urgensi dan manfaat usaha pembaharuan Muhammad Abduh[17]
Secara garis besarnya perubahan sistem pendidikan dimulai dari sekolah dasar yang selama ini kurang mendapat perhatian, hal ini juga tidak lepas dari sorotan Muhammad Abduh. Menurutnya sekolah tingkat dasar ini hendaknya menjadikan mata pelajaran agama sebagai inti bagi semua mata pelajaran di samping pelajaran umum. Karena pendidikan agama dianggap sebagai dasar pembentukan jiwa dan pribadi seorang muslim. Dengan memiliki jiwa seperti itu, umat Islam  terutama rakyar Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk mengembangkan sikap hidup dalam meraih kemajuan.[18]
Muhammad Abduh juga memikirkan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah untuk mencetak para ahli administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan lain sebagainya. Pada sekolah-sekolah pemerintah ini, Muhammad Abduh berpendapat perlu dimasukkan pendidikan agama yang lebih kaut, termasuk sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Ia sangat khawatir melihat bahaya yang akan timbul dari sistem dualisme dalam pendidikan. Sistem madrasah lama akan mengeluarkan ulama-ulama atau pelajar-pelajar yang tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu modern. Sedangkan sekolah-sekolah pemerintah akan mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit memilki pengetahuan tentang agama. Dengan memasukan ilmu pengetahuan modern ke dalam Al-Azhar dan dengan memperkuat pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, sehingga jurang yang memisahkan golongan ulama yang ahli agama dan golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil.
Selain itu, Muhammad Abduh juga menyoroti keadaan dan sistem pendidikan. Ia menata kembali seluruh struktur pendidikan yang berlaku di Al-Azhar, dari mulai cara mempelajari ilmu, dengan menghafal diubahnya secara bertahap dengan cara memahami dan menalar. Jadi selain perlu dihafal, juga yang terpenting siswa dapat mengerti apa yang dipelajarinya. Bahasa Arab yang selama ini menjadi bahan baku tanpa pengembangan, oleh Muhammad Abduh dikembangkan dengan jalan menerjemahkan teks-teks pengetahuan modern ke dalam bahasa Arab. Terutama istilah-istilah yang baru muncul, yang mungkin tidak ditemukan pada kosakata Bahasa Arab. Ia juga mengembangkan kebebasan berintelektual di kalangan mahasiswa Al-Azhar[19].
D.    KESIMPULAN
Ridwan Sayyed membagi kemodern-an al-Azhar ke dalam 3 fase, yakni fase Muhammad Abduh, Fase Abad 20 dan Fase 21. Pada fase Muhammad Abduh merupakan fase rintisan yang telah dilakukan al-Azhar dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan dan rasionalisasi pendidikan Islam.[20]Muhammad Abduh memandang perlunya integrasi pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Beliau menganggap perlunya diajarkan ilmu pengetahuan modern di al-Azhar, di samping memperkuat ilmu-ilmu agama.[21] Hasil dari perjuangan beliau, maka pada masa ini mulai dimasukkan kurikulum modern, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah. Di samping masjid didirikan Dewan Administrasi al-Azhar (‘idarah al-Azhar) dan diangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syaikh. Juga dibangun Rauq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan untuk guru dan mahasiswa.
Kedua, fase abad ke- 20. Pada  fase ini, al-Azhar sudah memulai untuk mengintegrasikan diri dengan pemerintah. Al-Azhar juga mulai beradaptasi dengan menjawab beberapa isu kontemporer dalam kaitan dengan isu modern dan modial. Pada masa ini pendidikan menjadi 4 jenjang,
e.       Pendidikan rendah selam 4 tahun
f.       Pendidikan menengah selama 5 tahun
g.      Pendidikan Tinggi selama 4 tahun
h.      Pendidikan Tinggi Keterampilan selama 5 tahun.
Ketiga, fase abad 21. Pada fase ini, al-Azhar secara eksplisit menjadikan dirinya sebagai gerakan moderat. Salah satu tuntunan yang harus segera diimplementasikan adalah ijtihad dan pengaturan metodologi konklusi hukum, yang memadukan antara teks-teks klassik dengan perangkat-perangkat pengetahuan modern. Pada fase ini, al-Azhar mulai mempelajari sistem penelitian yang dilakukan universitas barat, dan mengirim alumni terbaiknya ke Eropa dan Amerika.
Pada abad ke-21 ini, Al Azhar mulai memandang perlunya mempelajari sistem penelitihan yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim Alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Tujuan mengirim ini adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah ditingkat internasional sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan pemahaman Islam yang benar. Cukup banyak duta Al Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas luar tersebut, diantaranya ialah: Syekh DR. Abdul Halim Mahmud, Syekh DR. Muhammad Al Bahy.


DAFTAR PUSTAKA

Purwanto. M. Ngalim (2002). Ilmu Pendidikan, Teoretis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Zuhairi Misrawi, al-Azhar: Menara ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (Jakarta: Kompas, 2010),
Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013)
Nata,Abudin,  Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Raja Grafindo)
Antonio, Muhammad Syafi’i, dkk. Ensiklopedia Peradaban Islam Kairo. Jakarta: Tazkia Publishing, 2012.
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994)
Hasan, Para Perintis, 41. Dikutip dari Muhammad Abduh, Al-A’mal Al-Kamilah (diedit oleh Muhammad ‘Amara), Beirut: Al-Mu’assasah Al-Arabiyah lid-Dirasah wan-Nasyr, 1972, jil I, 637.
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam.
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007)
Saefudin, Pemikiran modern dan post modern dalam Islam : Biografi Intelektual 17 tokoh  (Jakarta Raja Grafindo),
Asmuni, Pengantar studi sejarah kebudayaan islam, (Jakarta : Rajawali Press)
Sani, Abdul, Perkembangan modern dalam Islam



[1] Ngalim Purwanto. (2002). Ilmu Pendidikan, Teoretis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal, 11

[2]Zuhairi Misrawi, al-Azhar: Menara ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (Jakarta: Kompas, 2010), 318.
[3]Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), 170.
[4]Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Raja Grafindo).,192.
[5]Ibid., 379.
[6]Ibid.
[7]Antonio, Muhammad Syafi’i, dkk. Ensiklopedia Peradaban Islam Kairo. Jakarta: Tazkia Publishing, 2012.162.
[8] Ibid.
[9] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 19
[10] Hasan, Para Perintis, 41. Dikutip dari Muhammad Abduh, Al-A’mal Al-Kamilah (diedit oleh Muhammad ‘Amara), Beirut: Al-Mu’assasah Al-Arabiyah lid-Dirasah wan-Nasyr, 1972, jil I, 637.
[11] Ibid., 41-42.
[12] Ibid, 42
[13] Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 65-66.
[14] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), 3
[15] Saefudin, Pemikiran modern dan post modern dalam Islam : Biografi Intelektual 17 tokoh  (Jakarta Raja Grafindo), 32
[16] Asmuni, Pengantar studi sejarah kebudayaan islam, (Jakarta : Rajawali Press) 80-81
[17] Saefudin, Pemikiran modern dan post modern dalam Islam, 33.
[18] Sani, Perkembangan modern dalam Islam, 54
[19] Saefudin, Pemikiran modern dan post modern dalam Islam, 33-34.
[20]Zuhairi Misrawi, al-Azhar: Menara ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (Jakarta: Kompas, 2010), 318.
[21]Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), 170.

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post